Sabtu, 02 Mei 2009

Tanggulangi Tsunami Sosial


gambar diambil dari: createyournextcustomer.com


Tsunami sosial tampaknya belum berhenti untuk beberapa tahun ke depan. Kemiskinan akan selalu masalah utama bangsa ini, untuk pemerintahan manapun, jangan sampai terulang diakan datang tsunami sosial menambah loreh luka rakyat kecil. Tsunami sosial ini berupa kemiskinan yang dapat dilihat dari sudut pandang kolektif masyarakat miskin. Kemiskinan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan dalam pelbagai masalah kehidupan. Kemiskinan berarti kelangkaan pelayanan. Kemiskinan dapat disebabkan alasan individu sebagai akibat pilihan atau kemampuan si miskin; alasan agensi akibat dari perilaku orang lain dan karena alasan struktural sebagai akibat dari hasil struktur sosial. Disini alasan agensi berperan dominan. Jejak pendapat Kompas tentang Jakarta 2006 menyatakan buruknya kinerja Sutiyoso dalam mengatasi kemiskinan kota sebanyak 76,6%. Namun tak dapat dipungkiri Jakarta memiliki program kartu miskin untuk perawatan rumah sakit ketika warga tidak memiliki dana sepeser pun. Akan tetapi, persoalan teknis seakan menjadi tradisi lama untuk mengurus pelayanan di rumah sakit—adminstrasi rumit, penjelasan petugas dinas kesehatan berbelit-belit membuat pasien mengeluhkan sikap perawat dan dokter berkelit remeh terhadap pelayanan gratis ini. Bantuan mengurangi kemiskinan sudah lama dilakukan pemerintah, banyak kebijakan dari pemerintah bahkan sampai berlangganan utang ke IMF beberapa tahun silam.

Kemiskinan dari segi lingkupan Jakarta, dapat dianggap dimulai dari tak punya hak para pendatang yang kepemilikan tanah pertaniannya menyempit, datang ke Jakarta dan menempati lahan ilegal; tepi rel kereta, bantaran kali, kolong jembatan. Jumlah yang menempati daerah ilegal ini bisa ratusan ribu jiwa. Disisi lain, pembangunan busway mewarnai kehidupan Jakarta, akibatnya sejumlah pohon ditebang, kemacetan setiap hari. Gedung dan mobil mewah, pembangunan mal biasa terlihat. Kontradiksi sekali dengan kaum miskin untuk memiliki sepetak lahan harus begitu pusing. Hal ini ditambah dengan sulitnya membuat kartu tanda penduduk lantaran sulitnya berhubungan dengan pemerintah. Ketika mereka menetap di daerah ilegal itu dan kemudian bekerja menjadi pengamen, pedagang asongan harus waspada dari razia dikejar tramtib. Bahkan menurut sebuah organisasi Swiss (COHRE) Indonesia sebagai salah 1 dari 7 negara yang melakukan penggusuran terbesar di dunia. Kendati kini, Sutiyoso menjanjikan pembangunan 1000 rasuna (rumah susun sederhana) dengan 2 kamar dan diharapkan bisa bebas PPN 10%.

Jika mundur ke belakang, alasan para pendatang luar Jakarta datang lantaran tanah pertanian tak memiliki lahan sendiri, akibat terhambatnya reformasi agraria agar kepemilikan dan penguasaan tanah dibatasi. Investasi dan eksploitasi sumber daya alam semakin luas sehingga pemilikan lahan pertanian terus-menerus menyempit. Namun, rencananya pemerintah akan melaksanakan reformasi agraria tahun 2007. Sekitar 6 juta hektar lahan akan dibagikan masyrakat miskin dan jika tidak dapat dimanfaat untuk usaha produktif, negara dapat menarik kembali pemberian tanah tersebut. Dengan pemberian tanah bagi masyarakat miskin, diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Karena sebanyak 67% dari sekitar 40 juta penduduk miskin Indonesia diantaranya berasal dari pedesaan dan sejumlah keluarga miskin tersebut 90% mengandalkan sektor pertanian, solusi ini diharapkan reformasi agraria menjamin kelangsungan sosial dengan cara menyelesaikan sengketa pertanahan. Pemerintah bersiap menganggarkan dana Rp51 triliun yang awalnya dari Rp42 triliun untuk membiayai program kemiskinan tahun 2007. Rencananya diberikan berupa bantuan tunai bersyarat yang dialokasikan ke dalam bentuk pelayanan kesehatan dan kemiskinan. Sayangnya, BTB ini hampir sebagian habis untuk administrasi proyek.


Bangsa ini harus tetap berpikir keras bagaimana mewujudkan program mengurangi jumlah kemiskinan pada 2015 nanti. Banyak masalah yang tidak bisa terkotak-kotak untuk mewujudkan impian tersebut; pertanian-kesehatan-pemukiman-dan kendala lain. Perbaiki birokrasi yang rumit, perbaiki persoalan tata kota yang kini terlanjur semrawut, pendanaan yang transparan sehingga BTB benar-benar terealisasikan. Penanggulangan tsunami sosial ini tidak mungkin dilakukan oleh satu departemen, melainkan ikut campur tangan dari berbagai departemen, dengan tindakan nyata diharapkan angka kemiskinan dapat berkurang.

Pendidikan yang Terus Belajar

gambar diambil dari: www.usnationalslaverymuseum.org


“Perubahan pada guru akan mengakibatkan perubahan pada siswa. Peningkatan pengetahuan guru akan meningkatkan pengetahuan siswa juga.”
Koichi Ito (Kepala sekolah dasar Towada, Tokyo)


Dana operasional pendidikan yang besar dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM, penelitian, jurnal ilmiah, peningkatan aplikasi teknologi. Sehingga memang pendidikan sangat membutuhkan banyak biaya. Ironisnya, anggaran pendidikan hanya tujuh persen dari total APBN, padahal negara merencanakan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN.


Terlepas dari dana operasional yang tidak sesuai dengan impian, hampir setiap tahun, Depdiknas merekrut guru bantu. Berdasarkan data Depdiknas 2003, program guru bantu mampu menyediakan 190.174 guru. Namun, target yang dibutuhkan belum bisa dipenuhi. Indonesia masih kekurangan guru 427.903 baik dari sekolah swasta maupun sekolah negeri. Sebanyak 1,09 juta atau sekitar 60% guru sekolah dasar, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK secara akademik masih berada di bawah kualifikasi standar sebagai pengajar. Angka itu bisa saja lebih kecil daripada kenyataan di lapangan. Pengangkatan guru bantu hendaknya berdasarkan lamanya mengabdi, kualitas pengajar dan pemerataan guru sehingga daerah pelosok juga mendapat pengajaran lebih baik. Contohnya saja, di papua yang mengalami kekurangan guru lantaran tak ada yang mengajar di kawasan terpencil. Tak ada jalan lain selain mengirim guru atau mendidik guru, dan tampaknya pemerintah perlu meninjau ulang sistem pendidikan guru di Papua.


Namun dengan biaya pendidikan yang begitu murah belum tentu bisa meningkatkan kualitas pendidikan yang setara dengan dunia internasional. Sulit rasanya membayangkan UNJ bisa bersaing dengan pendidikan tinggi di Eropa dan Amerika. Entah UNJ berada kepada tingkat berapa. Menurut majalah Times Higher Education edisi oktober 2006, UI berada di peringkat 250 yang merupakan peringkat terbaik universitas dari Indonesia yang masuk dalam urutan 520 besar dunia. ITB berada di peringkat 258, UGM berada di peringkat 270 dan Undip berada di peringkat 495. Peringkat tersebut diraih dengan beberapa penilaian antara lain adalah publikasi ilmiah, kualitas dosen dan mahasiswa, fasilitas atau sarana pelengkap pendidikan, termasuk penilaian pakar terhadap reputasi universitas serta tradisi akademis yang sudah berakar. Lantas, UNJ peringkat ke berapa?


Meskipun demikian, terlepas dari problematika di atas, tidak peduli UNJ berada di universitas tingkat berapa, tidak peduli dengan grade yang didapat setelah mengikuti kuliah, tapi apa yang dapat kita lakukan kepada orang-orang sekitar kita dengan apa yang dimiliki secara tepat. Seperti kata Istamar Syamsuri, Dosen FMIPA Universitas Malang, “ini bukan merupakan forum pengadilan, sebab rencana pembelajaran adalah milik bersama, karena disusun bersama. Semua pengamat melakukan analisis terhadap apa yang dilihatnya…,” sudah saatnya bagi kita selaku calon guru untuk mendorong, membantu siswa menemukan sesuatu yang baru, memerhatikan apa yang dibutuhkan dan kesulitan siswa. Pendidikan selalu terus berkembang, belajar dari perkembangan jaman, berusaha keras belajar menyaring globalisasi, dan tak lupa menumbuhkembangkan moral.


Referensi: Kompas, www. bem.ui.ac.id, http://www.depdiknas.go.id/