Senin, 22 Desember 2008

Budaya Bajak Bangsa


gambar diambil dari google.com

Budaya bangsa ini lebih senang bicara dan malas menulis. Budaya menulis akan semakin kuat dan besar dengan maraknya minat baca di lingkungan masyarakat. Karena itu, kalangan penerbit selayaknya bisa membuat langkah terobosan sehingga harga jual buku bisa jadi murah. Penerbit tak boleh sekadar mencari untung, tetapi harus juga memacu minat baca masyarakat.
Fenomena pembajakan buku disebabkan mahalnya harga kertas dalam negeri. Adanya kecenderungan kertas menghilang dari peredaran, dan jika ada, harganya sudah melangit. Kertas selalu mahal menjelang tahun ajaran baru. Sekitar 80 persen buku yang diterbitkan Indonesia mengalami pembajakan. Harga kertas yang akan terus naik dan diperkirakan hingga Juni mencapai 5-10 persen. Bahkan, ada spekulasi terbatasnya kertas disebabkan kenaikan penggunaan laporan APBN dan APBD bagi pemerintah pusat dan daerah.
Pendidikan adalah proses terbangun manusia sosial-budaya peradaban. Bukan hanya kognitif, namun budi pekerti untuk bermanfaat bagi sesama. Lantas, apakah potret pembajakan jika dipandang sistematis dari segi komunitas intelektual telah menganggu jerih payah karya penulis untuk memberikan sumbangsih pikiran karena diganggu perihal royalti? Lagi-lagi masalah harus digali holistik. Pembajakan buku ibarat bola salju yang memiliki rentetan masalah didalamnya.
Dampak pembajakan menimbulkan rasa malas bagi para pakar, peneliti, maupun pengarang untuk mewujudkan gagasannya dalam bentuk buku karena merasa jerih payahnya menulis buku tidak dihargai. Pembajakan juga menimbulkan kelesuan penerbit. Berdasarkan catatan Ikapi, buku yang cenderung dibajak adalah buku-buku teks untuk perguruan tinggi, baik karya pengarang dalam negeri maupun buku terjemahan. Buku tersebut dipasarkan di sekitar kampus karena tingginya permintaan mahasiswa.
Selain berdampak terhadap turun minat penerbit untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, pembajakan buku yang merajalela juga memengaruhi kepercayaan penerbit buku di luar negeri yang bukunya hendak diterbitkan di Indonesia.
Penerbit buku asing—terutama buku yang masuk kategori best seller—tentu mempertanyakan jika penjualan buku mereka di Indonesia tidak bagus. Untuk penerbit sendiri, selain kerugian material yang bisa mencapai miliaran rupiah karena harus membayar lisensi, penerjemahan, dan sebagainya, yang paling utama adalah kredibilitas. Tidak semua buku yang diterbitkan dapat untung. Jika ada buku best seller bisa terjual , keuntungannya dapat menutupi kerugian lain agar penerbit bisa lanjut berkarya. Dengan pembajakan yang merajalela, tak heran jika penerbit berpikir keras untuk mengambil risiko menerbitkan buku yang berkualitas.
Pembuatan sebuah buku melalui tahapan-tahapan yang mengambil biaya tidak sedikit. Diawali dari naskah mentah yang dibeli dari penulis, diedit dengan membayar editor, lalu naskah diset, dibuat film, dibukukan, dan diciptakan cover yang menarik. Setelah jadi buku, tahapan berikutnya adalah dipasarkan. Namun, para pembajak tidak peduli dengan tahapan-tahapan yang sangat menyita waktu dan biaya tersebut. Pembajakan buku sangat mudah dilakukan karena pembajak tinggal membuat film dari naskah sebuah buku yang laris di pasaran.
Pembajakan tidak akan berhenti jika aparat penegak hukum tidak memahami penerbitan dan percetakan. Padahal berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, hukuman bagi pelaku pembajakan maksimal tujuh tahun dan atau denda Rp100 juta. Selain penegakan hukum yang memberi efek jera kepada para pembajak, juga sudah saatnya pemerintah menciptakan infrastruktur yang memudahkan masyarakat mengakses buku yang murah.
Pemerintah dapat menciptakan infrastruktur untuk memudahkan masyarakat mengakses buku murah. Diantaranya, tidak menerapkan pajak untuk buku berkaitan dengan pendidikan, penyediaan kertas yang murah, memperbolehkan fotokopi buku-buku teks tetapi hak royalti penulis atau penerbit tetap dijamin. Namun, terlepas dari fenomena pembajakan buku yang setiap tahun terjadi, yakni bagaimana menumbuhkan minat budaya baca karena membangun ghirah komunitas gemar baca bukan hal mudah. Buku bajakan memang bukan barang baru, tapi tak dapat dipungkiri, menolong masyarakat meningkatkan minat baca ditengah sempitnya penghasilan ekonomi.
Lantas pertanyaan selanjutnya, komitmen semua pihak untuk melakukan perlawanan terhadap pembajakan. Pelanggaran hak cipta jelas telah terjadi. Mahasiswa sebagai salah satu konsumen buku penjiplak setidaknya memberikan pemikiran jangka panjang kondisi bangsa. Jangan sampai komunitas intelektual ini justru menambah buram potret dampak pembajakan bangsa, yakni menjadi komunitas penjiplak, minim kreativitas, fobia perubahan dan menambah kusam paradigma menara gading yang menjadi pusat pemikiran ke arah perbaikan negeri. *



Tidak ada komentar:

Posting Komentar