gambar diambil dari google.com
Terdapat berbagai pandangan mengenai penulisan fiksi. Fiksi pada hakikatnya adalah rekaan/ khayalan/ pernyataan yang hanya berdasarkan pikiran. Jika ada selentingan mengatakan tulisan fiksi merupakan barang tabu untuk digunakan karena bersifat bualan dan tidak ’membumi’ dalam artian tidak realistis, namun justru bergerak dari fiksi-lah manusia bisa berekspresi mengeluarkan eksistensi dirinya. Tulisan diari bisa merupakan sampah pikiran atau evaluasi dari seluruh aktivitas yang terjadi. Mengadopsi dari Andaikan Buku Sepotong Pizza, maka sejatinya penggunaan fiksi untuk esai, cerpen, puisi secara tak langsung mengikuti perubahan globalisasi dan pergeseran sosial yang terjadi. Menulis adalah seluruh aktivitas otak yang menggunakan emosional dan logika, sedangkan bagian tulisan fiksi bisa berarti subjektif karena sejarah berkata berdasarkan si pelaku, sehingga tergantung dari pilihan point of view, namun juga termaksud objektif dalam ranah menyampaikan pesan humanis.
Lantas apa yang membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi? Tulisan fiksi lebih ter’kotak’ pada tulisan naratif seperti cerpen, novel, puisi padahal tulisan fiksi bisa jadi merupakan fiksi ilmiah yang mengkaji masalah tertentu berdasark an kaidah keilmuwan—yakni menyajikan ke dalam bahasa baku yang bersifat logis, empiris, sistematis, lugas dan konsisten. Tulisan nonfiksi saat ini lebih terpola kepada karya tulis ilmiah, meski pemakaian kata ’karya tulis’ bisa termaksud fiksi. Namun terlepas dari penyebutan fiksi dan nonfiksi, pemakaian gaya tulisan ini kembali ke kondisi realita bangsa, karena terdapat tulisan yang tidak mampu ditulis dalam format penulisan ilmiah dan hanya sanggup si penulis mengkritik dalam tulisan naratif.
Ide untuk penulisan fiksi memang merupakan persoalan sulit apalagi jika tidak memperhatikan alur dan logika. Si penulis bisa saja tiba-tiba membunuh tokoh ketimbang menumbuhkan watak dengan diksi yang terbaik. JK Rowling pun harus berpikir berulang kali untuk membunuh suatu tokoh dan memberikan headline untuk setiap nama tokoh baru yang dia tulis; Dan Brown melakukan riset dan dengan riset itu membangun alur, lalu menuliskan seolah-olah menjadi demikian sehingga lahir The Da Vinci Code. Hal ini berarti, imajinasi dikembangkan berdasarkan hal-hal nyata, yang mampu dilaksanakan dengan cara menuliskan observasi dan renungan atas pengalaman sehari-hari dan berbagi dengan orang lain, atau dengan kata lain fiksi butuh bermacam sumber pemikiran dan renungan. Ranah menulis di otak adalah proses pematangan tulisan, apabila telah dituliskan menjadi berada di wilayah penyempurnaan tulisan—karena ada dua hal yang perlu diperhatikan, matangkan ide di otak, dan perkuat latihan menuliskan ide, karena ide merupakan modal awal untuk menyampaikan pesan kepada pembaca, selebihnya merupakan keberanian untuk menuliskan. Oleh karena itu, fiksi merupakan aset termudah untuk mentransfer gagasan kepada pembaca.
Mengembangkan ide untuk menjadi tulisan berwarna tak hanya membutuhkan analisis, namun gaya penulisan yang berbeda, atau dapat dikatakan mempunyai ciri khas. Sebut saja Andrea Hirata yang tidak mau meniru gaya penulisan novel lain, sehingga si Ikal muncul dengan ciri ‘Mozaik’ dan ‘Bangka Belitung’-nya yang khas atau novel berbau penulis ‘lulusan Mesir’ yang sedang marak. Ini membuktikan bahwa pangsa pasar menginginkan sesuatu yang berbeda, tak melulu percintaan, gaya hedonis, anak gedongan, atau kisah serba-sempurna. Menciptakan novel, cerpen dengan penuh inspiratif namun dengan ide sederhana serta mampu mengangkat isu aktual, seperti isu lingkungan, birokrasi pemerintahan, teknologi yang penuh perdebatan, gender memang tidak mudah. Menulis bukan hanya sekedar menulis kegundahan hati, melainkan menyampaikan pesan pencerahan untuk pembaca. Kendati sebuah pesan akan berkutat kepada dua hal—baik-buruk; benar-salah yang berkembang menjadi moral. Pesan inilah yang hendaknya dipegang penulis untuk menyampaikan visi tulisan, seburuk apa pun ejaan dan tata bahasa.
Tak ada penulis besar dunia ini yang berhasil secara instan. Memiliki tekad, menulis, membaca, berlatih dan berdiskusi merupakan bekal yang biasa dilakukan penulis besar. Beragam tips kerap dijumpai, tetapi konsistensi diri merupakan pondasi awal dalam menembus sarana belajar sehingga mudah ditanamkan dalam diri bahwa menulis merupakan kebutuhan, gudang ekspresi emosi dan sarana mendaur ulang pikiran.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar