Senin, 22 Desember 2008

Konflik Peneliti



gambar diambil dari google.com

Drs. Edward Emberlin merasa sudah duduk sejam lebih di Hotel Kemang dengan tema ‘Pengenalan Ekosistem Perairan’ dihadiri ratusan peserta. Dirinya ditunjuk sebagai pembicara sebagai peneliti budidaya perairan dan di sampingnya Ali Fansuri duduk sebagai moderator sekaligus aktivis gerakan lingkungan hidup, mengapit dirinya dan Ratna Pratiwi wakil dari Lembaga Oseanologi Nasional (LON).
“Penerapan bioteknologi laut dalam budidaya laut dengan memakai growth hormone atau GH mampu membuat ikan menyebabkan keturunan pertama tumbuh lebih besar daripada ikan yang tidak diperlakukan hormon tersebut,” ujar Edward Emberlin.
Si moderator berkata, “Ya seperti kasus tahun delapan lima lalu, ketika gen hormon tumbuh manusia ke ikan dan keturunan pertama ikan yang mendapat perlakuan bioteknologi ini tumbuh dua kali lebih besar daripada ikan yang tidak mendapat perlakukan seperti itu. Namun kalau kita kaitkan dengan keracunan tambak udang bagaimana?”
“Ya itulah, diagnosis dan pengendalian penyakit tersebut masih menjadi masalah teknik dan ekonomi yang besar,” ujar Edward. “Penyakit udang dan ikan yang disebabkan bakteri dan virus biasanya memang sulit diberantas. Vaksin yang biasanya digunakan melalui dua cara; dengan menyuntikkan ikan atau melarutkan ke dalam air.”
“Satu lagi untuk Bu Ratna,” kata moderator, mengalihkan padangannya kepada perempuan berblazer hitam itu. “Mikroorganisme sebetulnya merupakan sumber produk alam yang potensial, banyak bahan bioaktif berupa antibiotik yang dihasilkan mikrooganisme laut. Jadi sebenarnya produk alam laut… apa yang sebenarnya harus dibenahi?”
Perempuan berambut lebat pendek itu membetulkan tempat duduknya dan berkata, “Ya, produk alam tidak hanya berupa bahan bioaktif yang diambil dari hewan laut. Tumbuhan laut terutama makro dan mikro-alga merupakan sumber produk alam. Kandungan inilah yang menjadi sumber produk alam yang tak habis-habisnya.”
“Baik, sayang sekali… tak terasa kita sudah dipenghujung acara,” ujar moderator tersenyum kehadapan para audien, “walaupun bioteknologi masih dikatakan terbilang baru untuk dieksplorasi tapi penggunaan bioteknologi laut sudah selayaknya dikembangkan. Bioteknologi laut jelas perlu dikembangkan khususnya bagi budidaya laut. Oke terima kasih kepada seluruh panitia seminar, terimakasih kepada para hadirin. Selamat sore!”
Terdengar tepukan lama dari pengunjung.
Edward berdiri dan bersalaman dengan moderator dan pembicara dari LON.
“Terimakasih, Pak Edward,” kata Ali Fansuri berjabat tangan dengannya.
Edward tersenyum, bersalaman dengan semangat.
“Pak Edward, apa Anda setelah jam ini ada agenda?” tanya Ratna Pratiwi.
“Ya, saya harus mengajar sore ini,” jawab Edward.
“Bisakah saya ikut ke tempat Anda mengajar?” ujar Ratna agak mendesak, “ada yang harus dibicarakan tentang budidaya perairan ini.”
Edward mengerutkan kening, “Tentu saja, Bu Ratna.”
Seminar bubar perlahan.
***
Perjalanan mobil, membawa Edward dan Ratna menuju universitas di kawasan Jakarta Selatan.
“Anda tahu red tide, Pak Edward?” tanya Ratna duduk di samping Edward, ketika mereka meninggalkan parkir Kemang.
“Tentu,” ujar Edward, menyetir mobil.
Edward teringat peristiwa di Seto, puluhan tahun silam yang membuat Jepang rugi akibat akuakultur. Jenis Dinoflagellata ini menimbulkan red tide yang mengakibatkan kematian ikan dalam jumlah banyak.
“Saya harap red tide tak akan terjadi di Indonesia,” harap Ratna. “Saya tidak bisa membayangkan kalau Gymnodinium ini berkembang biak dan menghancurkan nasib nelayan. Perusak sistem ini memang tidak beracun tapi dia mampu menganggu sistem pernapasan apalagi kalau kepadatannya tinggi…”
Edward tidak begitu mendengarkan, dia merasa bukan ini yang akan dibicarakan oleh dirinya.
Rupanya Ratna juga menyadarinya ketika Edward terus menatap jalanan.
“Pak Edward, maksud saya berbicara dengan Anda, sebenarnya ini mengenai…” Ratna menghela napas, “triger fish.”
Edward tersentak kaget, dan langsung mengerem mobilnya.
“Triger fish?”
Mobil mereka kontan diklakson banyak kendaraan di belakang mereka, tapi Edward tak peduli.
“Ya, Pak Edward,” ujar Ratna, “Anda dikabarkan menjual ikan ini ke Jepang, Taiwan dan komoditi negara lainnya.”
Edward mengangkat alis.
“ApamaksudAnda?” tanya Edward cepat.
“Balistoides conspicillum,” gumam Ratna, tersenyum melihat gurat wajah Edward, “Satu ikan ini mayoritas laku puluhan ribu rupiah, Anda tahu itu.”
Edward kaget, mendengar perempuan ini tahu banyak tentang ikan pakol-kembang ini. Terlebih lagi mengetahui dirinya terlibat penjualan ikan kanibal ini ke luar negeri.
“Seharusnya Anda tahu kalau ikan hias ini kian lama makin punah, Pak Edward,” kata Ratna tajam, “Anda harus menghentingkan penjualan ini.”
Namun Edward cepat menahan emosi, dan gurat di wajahnya kembali normal.
“Saya tidak paham maksud Anda, Bu Ratna,” jawab Edward, tenang.
“Pak Edward,” kata Ratna, sama tenangnya, “Anda bicara dengan orang yang bekerja di LIPI—ahli kelautan… Dan tampaknya kita harus jalan lagi, Pak, polisi di belakang sebentar lagi akan menilang mobil Anda.”
Edward sesaat tidak mempercayai pendengarannya, tak dia sangka pertemuannya menyudutkan perbuatannya dan pekerjaan itu sudah sangat lama…
“Bu Ratna, kalau Anda ingin membahas topik ikan ini lagi, saya rasa saya tidak bisa membantu banyak Anda,” kemudian Edward menstater lagi dan menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, “Anda mau turun di mana?”
“Tenang Pak Edward, tenang…” ujar Ratna tersenyum, tak tampak kaget, “tujuan saya jelas kan? Saya ingin Anda menghentikan perdagangan ini.”
“Perdagangan apa maksud Anda? Kejadian itu sudah lama sekali, bahkan saya tak ingat lagi triger fish itu kalau Anda tidak mengungkitnya, itu sudah hampir lima tahun lalu.”
“Justru itu, Pak Edward… justru itu, saya tahu Anda terlibat itu dulu, tapi mahasiswa-mahasiswa Anda dengan persetujuan Anda meneliti ikan ini dan sekaligus mengakomodasi ikan pakol-kembang dengan dalih penelitian, Anda menjualnya dengan bantuan mahasiswa-mahasiswa Anda.”
Sejenak Edward tampak membeku, namun begitu traffic light berubah merah, dia buru-buru mengerem cepat, membuat mobilnya diklakson keras lagi.
“Tampaknya Anda sudah menuduh saya yang tidak-tidak, Bu Ratna, dan saya sangat tersinggung!” jawab Edward tegas, “Sebaiknya Anda saya turunkan di halte depan supaya Anda mudah menyebrang ke arah halte busway.”
Ratna sama sekali tidak terganggu dengan pernyatannya, dia hanya tersenyum.
Edward memberhentikan mobilnya di halte.
“Terima kasih tumpangannya, Pak Edward,” jawab Ratna, keluar dari mobil dan berdiri di halte.
Edward tidak peduli dan perlahan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
***
“Ikan pakol,” Edward mengklik mouse, mengganti-ganti layar slide, “suku Balistidae, hidup di perairan dangkal dan kalian tahu, jenis-jenis yang terbanyak dikenal para pecinta ikan hias seperti Balispatus undulatus dan Balistoides conspicillum ini merupakan sumber devisa perikanan?”
Edward berdiri santai, berpakaian kaos lengan panjang dipandu jas kemeja, dihadapan para mahasiswa jurusan Biologi yang tampak antusias, di sampingnya slide power point menyala.
“Tapi Pak,” ujar seorang mahasiswa berpakaian kaos berkerah, “Balistoides conspicillum ini punya sifat kanibal.”
“Awalnya,” Edward tersenyum, “Balistoides conspicillum memang kurang diminati karena penyebab itu, namun ikan pakol ini akhirnya dipisah dengan jenis ikan lain… itu satu-satunya cara.”
“Pak, saya tahu ikan hiu bisa dimanfaatkan sebagai industri kulit dan harganya begitu mahal,” ujar mahasiswi berkuncir kuda, “karena tingginya penggemar ikan hiu, ini menjadi komoditi perdagangan begitu mahal.”
“Itu benar, Maria,” ujar Edward mengklik mousenya lagi, “dan pikirkan… ikan pakol-kembang ini diekspor lima ratus ekor ke pasaran Amerika.”
Dirinya kini berjalan mondar-mandir pelan dihadapan para remaja-dewasa itu.
“Kita bisa mengembangkan sumber devisa ini,” lanjut Edward bersemangat, “meneliti, mengembangkan dan menjual aset ini.”
“Pak,” pria muda kaos berkerah berkata lagi, “apa itu bisa dianggap usaha sambilan?”
Edward menatapnya, mengangguk-angguk, “Bisa dianggap seperti itu.”
“Tapi Pak, bukankah ini bisa dikatakan semacam usaha di luar penelitian?” tanya pria itu.
“Tetap penelitian,” tukas Edward, “penelitian mana yang tidak perlu dana? Saya yakin Anda sekalian pasti kesulitan dana untuk meneliti, padahal tugas mahasiswa tak hanya kuliah-pulang, bukan? Saya kira kita bisa menjual ikan ini… dan kebetulan saya punya teman yang jual ekspor perikanan…” Edward memandang para mahasiswanya, “Nah terserah Anda, saya tidak memaksa,” tersenyum.
Para mahasiswa bertukar pandang, mereka tampak tertarik meski tidak sepenuhnya.
Tapi itu awal dari semua bisni yang Edward coba geluti dua tahun terakhir. Dia sebelumnya pernah bekerja di usaha ekspor perikanan, dan penghasilannya meningkat membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliahnya. Hingga, dia memutuskan berhenti ketika sudah muncul wacana pembatasan penangkapan hewan mahal ini. Namun setelah dia lulus dan berencana melancarkan bisnis ini lagi kepada para mahasiswanya, dan beranggapan sebagai langkah kemajuan pengetahuan sekaligus mengembangkan bisnis yang sangat bagus..
“Pak Edward,” sapa seseorang menyapanya dari belakang.
Edward tersadar dari lamunan, dan menoleh. Seseorang mahasiswa menyapanya di kantin dekat laboratorium zoologi.
“Ya?” sapa Edward. “Andi kan?”
“Betul Pak,” jawab mahasiswa itu senang dirinya dikenal dosennya, “saya ingin mengajukan judul karya ilmiah tentang pemanfaatan Bivalvia, bagaimana menurut Bapak?”
“Bivalvia?” ulang Edward, mengerutkan kening, “Tiram?”
“Ya, Pak saya menemukan inovasi baru, Pak,” jawab Andi bersemangat, “bukan hanya itu, Pak, Terip—“
Namun ucapannya dipotong oleh dering ponsel Edward di sakunya.
“Sebentar,” ujar Edward dan bangkit dari kursi kantin.
“Pak Edward?” sapa seberang suara.
“Ya, betul. Ini siapa?”
“Ini, Bu Ratna, Pak.”
Edward tertegun.
“Begini Pak,” kata Bu Ratna, “Sebentar lagi saya akan ke sana, dan saya harap pikiran Anda berubah ketika saya dan rekan-rekan kepolisian datang nanti—“
“Polisi?” sergah Edward, tak mempercayai telinganya.
“Ya, Pak Edward,” jawab Ratna, terdengar tenang, “jangan khawatir, Pak, kita bisa bekerja sama-sama untuk memberantas penjualan ikan ilegal ini.”
Tangan Edward gemetar hebat, ponselnya terlepas dari genggamannya membuat ponsel itu jatuh dan lepas dari pelindung casingnya.
Andi memperhatikan dosennya, “Pak, hp Anda jatuh.”
Tapi Edward tidak mendengarkan, tubuhnya masih kaku, sesaat tatapannya kosong, tapi dia masih mampu berpikir jernih, memilih mengambil kunci mobilnya dan harus segera kabur.

***










Tidak ada komentar:

Posting Komentar