Minggu, 21 Desember 2008

MEMBUKA PIKIRAN LEWAT GREENLAND

gambar diambil dari google.com

Menjadi rahasia umum cairnya es kutub utara berdampak untuk seluruh kehidupan. Meleleh gunung es di Greenland—provinsi otonom Denmark—dan kawasan kutub lain akibat peningkatan suhu lebih cepat, tak aneh karena kepekaanya membuat Greenland menjadi acuan para ilmuwan yang awalnya beranggapan masih butuh ratusan tahun untuk melihat es kutub di sana mencair.


Untuk beberapa lokasi, es kutub dapat mencair 20 juta ton per hari—jumlah ini setara dengan kebutuhan air bersih New York 1 tahun—dan seandainya lapisan Greenland seluas 700 ribu mil kubik itu mencair seluruhnya, maka muka air laut bumi akan naik 7 meter, dampak nyata yang dapat dirasakan nanti adalah diprediksi muka air laut akan bertambah 1 meter tahun 2100 atau tenggelamnya 20 persen wilayah Bangladesh. (Koran Tempo 17 Juli)


Masih banyak efek domino yang terjadi lantaran es kutub ini, dengan prediksi-prediksi buruk lain, misal beragam spesies terancam punah 100 kali lebih cepat daripada prediksi awal—1 dari 4 jenis mamalia, 1 dari 8 burung, 1 dari 3 amfibi berada dalam ‘Red List’ binatang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang dipengaruhi faktor alam; lalu laporan akhir (2007) International Panel on Climate Change (IPCC) yang melibatkan 2.500 ilmuwan dunia menegaskan terjadi perubahan iklim dan memberi kenaikan suhu 1,1-6,4 derajat Celsius abad ini yang berakibat meningkatnya curah hujan akibat penguapan dan berefek banjir, tanah longsor; meningkatnya air laut-mencemari air tanah—hal ini tampak jelas dengan gelombang pasang di Jakarta Utara; tenggelamnya pulau kecil; penurunan tangkapan ikan lantaran penghangatan suhu laut di kawasan tertentu atau sebaliknya, terganggunya rantai makanan.

Semua penyebab di atas baru dari faktor air, belum pengaruh yang muncul dari asal muasalnya. Es kutub mencair karena Gas Rumah Kaca akibat beragam polusi di dunia, ditambah hutan yang ditebang. Seperti lingkaran yang sejatinya hanya kumpulan titik dengan satu pusat, maka awal mula ketidakseimbangan iklim ini bermula dari kebijakan manusia. Bukan memecahkan masalah malah menciptakan problematika baru, ironis ini nyata dilihat dari keinginan Amerika mengambil intan, minyak mentah, gas alam cair akibat Greenland yang meleleh.


Kembali ke bangsa ini, Indonesia yang tak dapat dipungkiri cadangan fosilnya lambat laun juga akan habis, ternyata kasus pencemaran lingkungan 40 persen divonis bebas karena pemerintah belum menganggap penting kasus pencemaran, walaupun memang ada yang dihukum 6 bulan-2 tahun penjara. Pemerintah yang telah beberapa kali menarik subsidi BBM juga merupakan bagian dari lingkaran kebijakan, lantaran bergantung dengan harga minyak dunia, dan dengan keputusan ini berembel-embel mengajak masyarakat menghemat bahan bakar minyak. Efek lanjutannya adalah harga barang semua kebutuhan naik dan investor tentu saja mencari lokasi strategis yang murah, sehingga tak heran Jakarta disebut kota paling mahal dibanding Kuala Lumpur.

Permasalahan ruwet di atas agaknya bukan solusi hanya dengan memperbanyak anggaran lingkungan atau menambah struktrur lingkungan di perusahaan. Pemulaian dari diri sendiri sering didengungkan, dan memang tak ada yang mampu merubah selain komitmen dan kesadaran. Mencontoh Selandia Baru yang memasang target tahun 2025 akan mengubah energi listrik menjadi berbasis hidro dan memotong emisi karbon setengah bagian tahun 2040, Indonesia tentu boleh bermimpi memasang kebijakan dengan menanam seribu pohon untuk mengurangi polusi udara, atau kebijakan Three in One dan Car Free Day-nya. Namun, ini tidak cukup peran mencegah Greenland meleleh, dengan komitmen dan kekompakkan, serta mencari bahan bakar pengganti fosil, penghematan pemakaian minyak bumi, batu bara disertai menghentikan illegal logging merupakan penyelesaian yang diharapkan mampu mencegah kerusakan yang telah terjadi. Ini benar-benar masalah bersama, dan permasalahan utama adalah mind set manusia. Mencari bahan bakar alternatif terus dipacu, sudah banyak gagasan brilian dari anak bangsa ini, misalnya pemakaian turbin angin untuk tol Jakarta-Bandung, serta pemakaian bahan biofuel untuk beragam aktivitas baik listrik maupun penggunaan transportasi. Banyak PR yang belum selesai, dan jangan memandang sebelah mata isu perubahan iklim ini, sehingga tak bisa dipungkiri sekecil apapun peran, bahkan dengan tidak membuang sampah sembarangan jua mempengaruhi kehidupan bumi. *

gambar diambil dari google.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar