Minggu, 21 Desember 2008

MEMOAR SAKSI GEDUNG


Aku berdiri memaku di kawasan Abdur Rahman Saleh Jakarta Pusat, memandang angkutan umum dan ojek berseliweran. Gedung STOVIA putih menjadi saksi pertemuanku dengan pria tua bertopi hitam lusuh. Aku sering mengamati orang tua itu menjual pernak-pernik kalung perak, gelang rajutan dan cendramata lain. Pria bertopi hitam dengan penuh gurat lelah di kantong matanya, berjumpa dengannya ketika aku berjalan bersama dengan kakakku yang baru berkunjung ke Jakarta.

”Ini berapa, Pak?” tanya kakakku kepada pria bertopi hitam.

Pria bertopi hitam melihat gantungan handphone merah besar yang ditunjuk kakakku, ”Itu empat ribu.”

Pernak-pernik itu digantung dibawah naungan payung warna-warni, dan di bawahnya diberi meja dicat merah tua berisi pernak-pernik gelang; bros; kura-kura dan anjing yang berkepala goyang atas-bawah.

Kakak laki-lakiku tanpa tawar menawar lagi langsung menyerahkan uang pas kepada si penjual.

”Laris-manis!” ujar pria bertopi hitam tersenyum, menyerahkan gantungan handphone itu kepada si pembeli.

Bangunan putih di seberang jalan menarik perhatianku dari si topi hitam. Bangunan besar yang dinaungi banyak pohon kelapa. Gedung Kebangkitan Nasional, begitu biasa orang-orang menyebut. Berjendela kayu horisontal dengan penutup berbentuk setengah lingkaran.

”Itu gedung apa, Di?” tanya kakakku.

Sang kakak ternyata juga mengamati arah pandanganku.

”Itu Gedung STOVIA atau biasa disebut Gedung Kebangkitan Nasional,” jawabku singkat.

”STOVIA?” gumam kakakku.

”Iya,” anggukku, ”di sini dulu juga disebut sekolah kedokteran.”

”Ah, terlalu banyak gaya sekali!” gumam kakakku, geleng kepala.

”Memangnya kenapa, Mas?” tanyaku, heran.

”Gedung ini terlalu perlente,” sahut kakakku, tanpa ekspresi.

Namun, entah kenapa pria bertopi hitam itu tertawa kecil.

”Kenapa, Pak?” tanyaku, tambah heran.

Si pria tua tersenyum, seraya merapihkan jualannya, ”Maaf Nak, tidak maksud buat menguping, tapi lucu mendengar tempat kenangan ayah saya dibilang apa tadi? Perlente?”

”Oh, jadi ayah Bapak pernah suka kumpul ke sana?” tanya kakakku, memandang wajah si penjual, seakan menilai apakah beliau berbohong atau tidak.

”Iya, suka diskusi di sana, ayah saya dulu sekolah di sana,” jawab si pria tua, tetap tersenyum.

”Oh,” gumamku, menyiratkan kebingungan.

Rasanya tak masuk diakal, keturunan dokter menjadi penjual pernak-pernik cindramata.

Tampaknya si pria tua itu mengerti gurat wajahku, ”Ya, ayah saya dulu bilang dosennya memberi ceramah studiesfond di gedung itu.”

Studiesfond?” ulang kakakku.

”Dana belajar,” jawab pria bertopi, kalem, ”gedung itu punya beragam dinamika...,” lanjutnya, ”dari menjadi tempat MULO, AMS sampai menjadi tempat warga Ambon keluarga pengungsi.”

Aku menyiratkan kagum, ”Bapak tahu banyak rupanya.”

”Itulah anak muda jaman sekarang,” ujar si pria tua entah mengapa menggerutu, menyandarkan diri ke tempat kaca luar telepon umum dekat beliau berjualan, ”jangan biasakan jalan-jalan ke mall terus, mainlah ke museum dan tempat bersejarah.”

Kakakku diam saja, tampak tak sependapat.

”Ngomong-ngomong nama Bapak siapa?” tanyaku, ingin tahu.

”Dullah,” jawab beliau, singkat.

”Kalau boleh tahu,” tanya kakakku, ”sudah berapa lama Bapak berjualan di sini, Pak?”

Pak Dullah sesaat tak menjawab, namun akhirnya berkata pelan, ”Yah, lumayanlah hampir sepuluh tahun.”

Kakakku mengangkat alis.

”Sudah pernah main ke Museum Bahari, belum?”

”Eh?” gumamku.

”Iya, museum yang dekat pasar ikan,” ujar Pak Dullah.

Aku menggeleng, ”Belum, Pak.”

”Museum itu punya banyak kisah juga,” papar Pak Dullah, ”museum yang menampung jenis perahu tradisional di seluruh nusantara. Tempat saksi sejarah perebutan lada oleh Inggris, Belanda.”

Kakakku entah mengapa mendengus.

”Maaf, Pak,” ujar Mas Dito, ”tapi wajar kan kalau anak muda suka nongkrong di kafe daripada ke museum, fasilitas di museum itu kuno dan tidak sesuai lagi jaman sekarang.”

”Mas,” desisku pelan, menegur.

Tak sopan rasanya berdebat dengan orang yang pertama kali dikenal.

Namun Pak Dullah malah tersenyum lebar.

”Ya, siapa lagi kalau tidak ada yang memperbaiki kecuali anak muda bangsa ini? Iya, tidak?” jawab Pak Dullah, ”kalau memang museum dan gedung-gedung yang kau anggap perlente itu tak layak kunjung mengapa tidak kau sendiri yang berbuat perubahan?

”Kalau membuang sampah,” lanjut Pak Dullah, ”masih menunggu petinggi atas yang mengambil sampah kapan bersihnya Jakarta? Kalau mahasiswa cuma senang demo tanpa pengabdian nyata kepada masyarakat masa menunggu mereka lulus dulu buat berbagi terhadap sesama?”

Kakakku diam saja.

”Dulu Jakarta waktu saya masih kecil tidak padat memang. Tahu Museum Fatahillah? Museum Sejarah Jakarta pernah menjadi penjara, dan pernah menjadi tempat urusan masalah pemerintahan, peradilan dan kita bahkan bisa melihat di sana lukisan Raden Saleh yang terkenal.”

”Bapak seperti pemandu museum,” cetusku.

Pak Dullah tersenyum, ”Ada koleksi tentang becak dan ada patung Hermes juga.”

Kakakku perlahan cemberut, ”Ah, sudahlah! Ayo pergi dari sini, kita pulang saja!”

”Mas Dito,” tegurku pelan, seraya melirik Pak Dullah yang tanpa menyiratkan gurat kaget.

Pak Dullah mengangguk, ”Hati-hati, Nak!”

Kakakku menarik bajuku dan memaksaku berjalan sampai ke shelter transjakarta.

***

Sore terang aku kembali menyusuri kawasan Abdur Rahman Saleh, mengamati jalan lenggang, menelusuri trotoar dan kudapati penjaja cindramata yang kuinginkan. Aku baru selesai ujian akhir semester dan memilih melepaskan lelah dengan berbincang kepada Pak Dullah.

”Datang lagi, Nak,” sapa Pak Dullah, tersenyum.

Pak Dullah tetap mengenakan topi hitamnya kendati cuaca sedang terik.

”Iya,” jawabku, ”eh... Bapak, saya minta maaf kejadian tempo lalu, kakak saya memang wataknya begitu.”

Pak Dullah sedang asyik membaca koran, kacamata besar bertengger di hidungnya.

”Pak?” ulangku.

”Hm,” Pak Dullah tidak mengalihkan pandangan dari bacaannya.

”Bapak?” kataku agak keras.

”Oh!” Pak Dullah baru tersadar, langsung melipat koran dan meletakkan kacamatanya, ”apa, Nak?”

Aku mengulangi ucapanku lagi.

Pak Dullah kini bersandar ke tiang listrik.

”Tak apa-apa, Nak,” jawab beliau, ”siapa yang mau mendengar pedagang tua seperti Bapak. Oh ya, namamu siapa?”

”Adi,” jawabku, ”tapi... apa benar ayah Bapak dokter?”

Pak Dullah tertawa pelan, ”Ah kau ini! Ayah Bapak memang sekolah di STOVIA, dulu Bapak disuruh ikut jejak almarhum juga, tapi nasib memang berkata lain.”

”Memangnya kenapa, Pak?” tanyaku, ingin tahu, ikut duduk di bangku plastik kusam, di samping beliau.

Pak Dullah termangu dan obrolan cerita mulai mengalir, ”Dulu Bapak pernah kerja di museum Fatahillah, museum Wayang. Bapak memang suka melihat dan merawat barang-barang sejarah. Siapa lagi yang merawat kalau bukan kita, ya tidak? Tapi... yah begitu, Bapak pernah sakit infeksi di lutut, membuat Bapak lumpuh dan terpaksa berhenti dari museum.”

”Ini berapa, Pak?” tanya seorang perempuan gemuk, calon pembeli melihat kalung perak yang diukir.

Pembicaraan kami terputus sejenak dengan si perempuan berbaju dinas itu. Perempuan dengan rambut tergelung rapih dan bermake-up tebal.

”Itu dua puluh ribu, Bu,” jawab Pak Dullah, mencoba ramah.

”Tidak bisa kurang, Pak?” tawar sang ibu agak keras, ”Sepuluh ribu, Pak!”

Pak Dullah tersenyum, ”Wah tak bisa, Bu.”

Sang ibu mengambil kalung dan memegangnya dengan menggantung.

”Dua belas lah, Pak,” tawar sang ibu lagi.

Pak Dullah menggeleng, ”Enam belas aja, Bu, paling murah itu.”

”Tidak ah!” gumam si perempuan gemuk, dan kemudian berlalu.

Pak Dullah mengangkat bahu, dan merapihkan dagangan kembali.

Aku memberanikan diri berbicara, ”Eh, rumah Bapak di mana?”

”Dekat kok, Nak,” jawab Pak Dullah, ”jalan lurus, ketemu gang belok kiri.”

“Saya boleh main ke rumah Bapak?” tanyaku.

Pak Dullah tersenyum, “Boleh saja, Nak, tapi nanti malam.”

Aku mengangguk, ”Tak apa kok, Pak, saya tunggu, sekalian belajar dagang,” seraya tersenyum.

Sore itu terasa lambat, aku mendapati sepasang muda-mudi bergandengan tangan seraya memegang ponsel masing-masing, atau sesekali berfoto bersama. Terkadang aku berjumpa dengan calon pembeli yang menawar dengan sangat rendah, atau yang hanya melihat dan memegang barang tanpa berbicara sepatah kata pun.

Angin terasa tenang, membuatku ngantuk, namun tak tega rasanya melihat Pak Dullah selalu tersenyum menghadapi calon pembeli yang senyum pun tidak sementara aku dengan nyaman mudah tertidur.

Kami akhirnya sampai di rumah yang begitu kecil, dengan saluran got kotor sepanjang gang. Rumah Pak Dullah sangat sederhana, bahkan sangat-sangat sederhana menurutku. Tak ada meja dan sofa layaknya rumah kawan-kawanku; ruang tamu, merangkap ruang dapur dan ruang keluarga.

”Maaf berantakan, ayo duduk,” ujar Pak Dullah melepas topi hitamnya, menampak rambutnya yang memutih, ketika kami tiba dan masuk ke rumahnya, ”mau minum apa?”

”Ada siapa, Pak?”

Datang seorang perempuan berambut putih sama tuanya dengan Pak Dullah, yang kukira istri beliau.

Pak Dullah menjelaskan kedatanganku yang sekadar berkunjung.

”Duduk saja dulu, Nak,” ujar sang ibu, sama ramahnya, ”nanti Ibu buatkan minum.”

”Tak usah repot-repot, Bu,” tukasku, dan langsung duduk bersandar ke dinding putih kusam.

”Tidak repot kok,” jawab sang ibu, tampak senang, kemudian berlalu ke belakang.

”Ya, beginilah, Nak,” sahut Pak Dullah ikut bersandar setelah barang dagangan dititip ke ruko terdekat, ”setiap pagi sampai jelang malam Bapak jualan di sana.”

”Bapak...” gumamku, ”jadi Bapak sudah berdagang sepuluh tahun setelah keluar dari museum?”

”Ya...” ujar beliau, ”Bapak juga sempat jadi penjaja koran, nanti malam mau ke pasar seberang buat jaga parkiran mobil.”

Aku mendesah, ”Apa Bapak tidak mencoba lagi kerja di museum?”

Pak Dullah seakan menimbang-nimbang, ”Pernah, setelah beberapa kali Bapak ikut pengobatan tradisional, utang sana-sini buat bayar dokter, Bapak pernah berpikir untuk kerja di sana lagi, tapi posisi Bapak sudah ada yang mengganti, dan lagipula si Fathul—anak Bapak sudah menikah juga, jadi lebih baik Bapak berdagang, dengan begini... Bapak bisa sering baca koran, yah... waktu baca Bapak lebih banyak.”

”Ah Bapak...” ujarku tersenyum, mendengar celoteh pria tua itu, tak berani berkomentar lebih, sementara aku membaca buku kuliah ekonomi saja begitu malas.

***

”Di timur pintu utama Museum Fatahillah ada tempat makan,” kata Pak Dullah, seraya makan malam bersamaku dan istrinya, ”namanya Kafe Museum, makanannya lumayanlah, dan beragam menu. Museum Fatahillah adalah salah satu dari aset berharga Jakarta, iya tidak Di? Banyak orang asing berkunjung ke museum itu.”

Pak Dullah mengunyah nasi beserta lalapan dengan tangannya.

”Wah Pak,” ujarku, teringat kunjunganku ke pameran bersama Mas Dito, ”tempo lalu saya pernah ke pameran koleksi museum Jakarta. Banyak koleksi unik, sepatu besi Museum Onrust. Kota Jakarta memang harus meningkatkan kualitas museum, karena museum itu etalase pengetahuan sekaligus objek wisata pendidikan, begitu ya, Pak?”

Pak Dullah mengangguk, ”itulah hebatnya Jakarta, ya tidak Bu?”

” Ayo dihabiskan makanannya,” kata sang Ibu seraya tersenyum.

Aku memandang makananku sendiri, sudah setengah habis.

”Dan ternyata,” lanjutku, ”banyak koleksi museum yang belum dikenal warga Jakarta sendiri, saya sempat melihat perlengkapan militer Van De Bosch sewaktu bertugas di sini. Bahkan beragam artefak dari tahun 1700-an sampai sekarang juga ada.”

Pak Dullah menepuk bahuku, ”Baguslah, Nak, ada yang peduli kepada sejarah kita.

”Gedung Balaikota dulu pernah menjadi kantor pemerintahan Jawa Barat, kau tahu, Nak?” lanjut Pak Dullah, lalu meneguk air putih, ”Balaikota juga pernah menjadi saksi berakhir pemerintahan Inggris, memang tempat yang memiliki banyak sejarah...” Pak Dullah sudah selesai makan, beliau mencuci tangannya di baskom mungil, ”kata ayah Bapak, dulu Jakarta tidak banyak warganya, dulu ada pelabuhan Sunda Kelapa yang masih di bawah kerajaan Pakuan Pajajaran. Andai Fatahillah dulu tidak mengijinkan VOC membangun gudang di tepi Ciliwung ya... mungkin Pulau Jawa tidak begitu parah.”

Aku mengangguk-angguk. Senang rasanya berbincang bersama Pak Dullah, ternyata ketertarikanku dengan bahasa beliau yang begitu bagus—sulit dipercaya beliau menjadi pedagang kecil-kecilan padahal memiliki kenangan sejarah yang luar biasa.

”Ngomong-ngomong rumahmu di mana, Nak?” tanya Bu Dullah.

”Dekat Jalan Pangeran Jayakarta,” jawabku.

”Oh...” gumam Pak Dullah bersandar lagi ke dinding, ”kalau tidak salah di sana ada Gang Taruna yang dekat Gunung Sahari, ada makam petinggi Cina pertama dan rencananya mau dipugar jadi objek wisata.”

”Ibu ke dalam dulu ya,” ujar sang istri, setelah kami semua usai makan, membawa tiga piring dan baskom mungil berisi air.

”Iya, Pak, makam Souw Beng Kong,” ujarku, pernah membaca tentang makam yang mau dikembangkan menjadi Taman Kota dan mendapat respon positif dari berbagai kalangan.

Malam menginjak pukul delapan, kuputuskan untuk berpamitan dengan suami-istri itu. Aku menyukai diskusi dengan orang-orang yang baru kukenal, namun sarat ilmu. Berjalan pelan keluar gang hingga melalui Gedung Kebangkitan Nasional, tak khayal perjuangan nenek moyangku hingga aku wajib mengetahui dan menjadi sandaran untuk pelajaran kehidupan kini. Gedung-gedung yang sudah tua tak hanya sebagai tempat kunjungan semata tetapi sarana pengingat gerakan pemuda terhadap perjuangan di Jakarta, salah satu tempat saksi perintis perjuangan negara ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar