Senin, 22 Desember 2008

Landreform Berkeadilan



gambar diambil dari google.com

Awalnya UU Agraria 1870 memang dimaksudkan agar masuk modal besar swasta asing, khususnya Belanda yang kemudian melahirkan banyak perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Namun, sistem ekonomi perkebunan ini justru menyengsarakan rakyat Indonesia. Kemudian lahirlah poltik etis yang terkenal dengan irigasi, transmigrasi, dan edukasi. Politik etis ini tidak begitu banyak menghasilkan perubahan bagi kemajuan bangsa, dan sudah jelas pemerintah kolonial melakukan program-program tersebut untuk tujuan utama kepentingan kolonial.
mudian, di masa pendudukan Jepang, petani harus dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya, selain itu perkebunan besar terlantar lantaran ditinggal pemiliknya. Dan dari masa inilah rakyat Indonesia seakan-akan menerima kembali hak tanahnya yang dulu dikuasai Belanda.
Ketika bangsa Indonesia merdeka, para pendiri bangsa ini melakukan tatanan mengenai masalah pemilikan dan penggunaan tanah. Saat itu, telah ada kesadaran untuk tidak menjadikan tanah sebagai komoditi komersial. Kemudian dengan latar sejarah yang panjang, rakyat diberi toleransi menduduki tanah perkebunan hingga menunggu reform, kendati perjalanan dirumuskan UUPA begitu panjang karena terikat dengan perjanjian KMB.
Sejarah penting akhirnya ditetapkan UU No.56 tahun 1960 yang dikenal sebagai UU Landreform. Namun, bukan berarti landreform ini bebas dari hambatan apalagi sempat adanya paradigma landreform sama dengan PKI. Program landreform dianggap belum jelas dan belum memiliki penyelesaian bila kemungkinan terjadi pelbagai hambatan. Ironisnya, bangsa ini yang mayoritas agraris, belum memiliki banyak pakar ahli tentang agraria; agraria yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Birokrasi berbelit-belit menambah panjang masalah landreform di Indonesia, disamping itu, konsep pendistribusian tanah dan jenis tanah yang layak untuk diberikan juga belum jelas. UUPA 1960 mati suri karena masa Orde Baru, munculnya program hukum lain seperti UU Pokok Kehutanan. UUPA 1960 dihidupkan kembali dengan segala permasalahan baru. Adanya ungkapan tanah untuk kepentingan investasi maka UUPA 1960 seakan dianaktirikan, apalagi dengan berhasilnya bangsa ini dengan swasembada pangan membuat pada masa orde baru yakin bahwa bangsa ini dapat maju tanpa mengembangkan landreform.
Menuju tahun 90-an, tampaknya landreform telah jauh dari harapan sejarah bangsa, apalagi adanya ungkapan untuk dijadikan tanah sebagai aset strategis yang cenderung akan merubah paradigma landform itu sendiri.
Lahirnya pelbagai organisasi rakyat membuat landreform bangkit kembali. Hal terbukti dengan munculnya Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Petani dan lahirnya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraris dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan usulan dibentuk Komite Nasional untuk Penanggulangan Konflik Agraria (KNUPKA)—walaupun belum terlaksana. Namun, hingga kini amandemen UUPA 1960 masih terus berlanjut. Masalah Perpres No.36 tahun 2005 menyangkut pembebasan tanah dalam rangka pembangunan infranstruktur masih terus berlanjut, begitu pula masalah revitalisasi pertanian yang belum terhirup kebebasan landreform. Adanya kontradiksi antara UU Pokok Kehutanan dengan reformasi agraria membuat penyempurnaan UUPA 1960 kemungkinan mandeg ditengah jalan, lantaran pelbagai dilema diantara produk-produk hukum. Di samping itu, otonomi daerah ikut menambah mandegnya penyempurnaan UUIPA 1960.
Memang terjadi pelbagai putaran dalam ruang lingkup politik bangsa ini. Krisis multidimensi semakin rumit, dan pertanyaan utama adalah mengapa pada masa reformasi ini justru mempersulit mengatasi masalah agraria secara mendasar?
UUPA 1960 memang sudah selayaknya diperbarui. Memang ada selentingan pemikiran bahwa dengan memberikan hak pengelolaan tanah dalam jangka panjang, maka tanah bangsa ini akan diambil alih ke pihak asing. Namun, hak atas tanah yang diberikan kepada penanaman modal yang mendirikan perusahaan badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas) harus taat kepada hukum Indonesia.
Pembaruan dalam hukum agraria perlu dilakukan, mengingat sifat UUPA tidaklah lagi sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa yang kini mengarah pada industrialisasi, walaupun memang masih perlu dilaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi di sektor pertanian.
Jelas, permasalahan tanah telah menjadi permasalahan sejak lama dan terus menjadi permasalahan periode mendatang. Tidak heran bila muncul pendapat mengenai perpres untuk mengelola masalah pertanahan. Perpres No.36 tahun 2005 secara tak langsung memuat pokok utama perihal pencabutan tanah. Sehingga perpres ini begitu sensitif untuk disalahgunakan. Seperti ada pertentangan antara pasal 4 ayat 1, pasal 27 UUD 1945 tentang hak kebebasan tempat tinggal, UU No.39 tahun 1999 mengenai HAM dengan Perpres No.36 tahun 2005. Sudah selayaknya pemerintah menerapkan peraturan hukum dan lebih menjelaskan apa yang dimaksud atau batasan kepentingan umum agar tidak mencari celah untuk meraup keuntungan peruntukan tanah.
Tanah tidak boleh dikuasai secara individual dengan hak-hak liberal yang menumbuhkan monopoli tanah, pengelolaan tanah tanpa memerhatikan kepentingan lingkungan sekitar, karena di dalam hak pribadi terdapat hak sosial, sehingga dengan kata lain negara punya hak intervensi penguasaan tanah.
Hak pemerintah untuk mengintervensi digunakan sebagai legitimasi ambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan. Sedangkan sebagian besar isi UUPA 1960 yang mewajibkan pemerintah merombak dan menata ulang penguasaan tanah agar lebih adil dan merata justru cenderung diabaikan.
Harus ada kriteria khusus dan tegas bahwa Perpres No.36/2005 lebih represif daripada Kepres No.55/1993. Selain itu harus ditegaskan pembebasan tidak akan berakhir untuk kepentingan bisnis. Bangsa ini harus kembali berbasis kepada pertanian dan perkebunan dengan memproritaskan hal mendasar, yakni revitalisasi dengan landreform.
Tujuan awal landreform berpotensi dibelokkan dengan adanya RUU Sumberdaya Agraria yang digarap sejak masa Pemerintahan Megawati. RUU ini merupakan terjemahan Badan Pertanahan Nasional atas Keputusan Presiden RI No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang merupakan turunan dari Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Di dalam Keputusan Presiden tersebut, berisi sebuah perintah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan percepatan dalam proses penyempurnaan UUPA 1960 segera membuat reaksi dari sejumlah pihak yang selama ini memperjuangkan adanya reformasi agraria yang sebenarnya.
RUU tentang Sumberdaya Agraria tersebut bukanlah upaya untuk menyempurnakan, melainkan mengubah dan mengganti secara keseluruhan UUPA 1960. Hal ini tentu merupakan suatu upaya yang berbahaya dan patut dipertanyakan kembali, karena, di satu sisi, ada belasan pasal dalam UUPA 1960 yang masih relevan dengan kebutuhan bangsa sehingga perlu dipertahankan.
Dalam konteks ini, selayaknya pemerintah mengambil sikap terhadap reformasi agraria seperti tercantum dalam UUPA Tahun 1960. Dari sana diambil kebijakan dari alternatif yang ada, yakni melaksanakan apa adanya, merevisi, bahkan jika perlu merombak total UUPA.
Kita bisa menengok ke Aljazair yang pernah menerapkan metode nasionalisasi berdasarkan UU tahun 1974. Semua tanah yang melebihi kriteria kebutuhan perorangan bisa dinasionalisasi oleh pemerintah. Pemerintah daerah diberi wewenang mengontrol transaksi tanah bersangkutan.
Beberapa negara seperti India memilih melakukan metode land banking sebagai pendekatan jangka panjang yang bersifat komprehensif dalam rangka penyediaan lahan untuk kebutuhan pembangunan yang dapat dilakukan secara sukarela ataupun terpaksa. Dengan metode ini, pemerintah sengaja mengakumulasi tanah jauh-jauh hari sebelum kebutuhan lahan muncul, sehingga pemerintah mendapat lahan relatif murah untuk kepentingan umum. Mekanisme ini memungkinkan pemerintah lebih mudah mengatur pola pembangunan wilayah bersangkutan agar lebih sejalan dengan sasaran perencanaan tata ruang secara keseluruhan. Selain itu, sekaligus mengontrol pasar tanah, mencegah spekulasi tanah, dan bisa mengambil sebagian keuntungan dari peningkatan nilai tanah yang terjadi dengan adanya pembangunan lahan pedesaan menjadi perkotaan.
Metode lain adalah dengan apa yang disebut sebagai land readjustment. Konsep ini diperkenalkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, George Washington dalam kesepakatan dengan para pemilik tanah untuk membangun kota Washington tahun 1971. Metode serupa, tetapi dengan sejumlah modifikasi, kemudian juga diterapkan di Jerman, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Australia, India, bahkan Indonesia. Konversi biasanya dilakukan terhadap lahan yang semula pertanian menjadi lahan perkotaan. Beberapa kelebihan dari metode ini adalah skema ini memungkinkan dilakukannya suatu pembangunan terencana terhadap lahan dan jaringan infrastruktur sehingga bisa dihindari terjadinya pembangunan berbagai fungsi lahan campur aduk dalam satu kawasan. Land adjustment merupakan metode menarik untuk mengendalikan laju dan lokasi pembangunan perkotaan yang baru.
Reformasi agraria bisa menjadi sebuah gerakan sosial jika lembaga bantuan hukum yang ada di daerah-daerah sudah bermitra dengan para petani atau masyarakat yang menjadi korban kasus-kasus pertanahan. Pengabaian sumber daya masyarakat seharusnya dihentikan.
Esensi persoalan perpres itu terletak pada definisi kepentingan umum dan jaminan kompensasi bagi masyarakat. Dalam perpres, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan sebagian besar masyarakat. Pada dasarnya pemerintah dimungkinkan mencabut hak milik pribadi demi kepentingan umum. Hal ini merupakan suatu yang sudah lama ada, khususnya di Indonesia pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Bahkan, hampir seluruh negara mempunyai peraturan seperti itu. Yang harus dipersoalkan, dalam perspektif akademisi, apa definisi kepentingan umum supaya tidak disalahgunakan. Kepentingan umum adalah kepentingan orang banyak yang untuk mengaksesnya tidak mensyaratkan beban tertentu.
Salah satu alasan pemunculan peluncuran program landreform adalah untuk mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah. Akan tetapi, program landreform pada masa lalu tidak berhasil. Penyebabnya adalah rendahnya kemauan dan dukungan politik, tidak tersedianya biaya, data dan informasi, serta lain sebagainya.
Kegagalan itu membuat permasalahan agraria terus berlanjut sehingga perlu dilakukan pembaruan lagi pada masa reformasi ini. Pembaruan tersebut merupakan upaya untuk mengubah sistem penguasaan tanah. Termasuk memperbaiki jaminan kepastian penguasaan sumber daya itu bagi semua pihak yang memanfaatkannya.
Setelah itu, diikuti dengan perbaikan cara-cara pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya dengan menyediakan fasilitas kredit, pendidikan dan latihan, asistensi teknis untuk perbaikan sistem produksi, dan kelangsungan daya dukung alam. Pembaruan agraria mencakup setiap upaya untuk menata ulang sistem penguasaan, produksi, dan pelayanan pendukungnya yang menjamin terjadi keadilan sosial.
Ditandai dengan diterbitkan Tap MPR No IX/MPR/2001, secara tegas, Tap MPR ini memberi mandat untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan landreform yang berkeadilan. Dalam pembaruan ini harus pula memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini. Selain itu, harus bisa mengantisipasi potensi konflik di masa depan guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Seiring dengan pembaruan agraria, perlu dilakukan program penguatan hak rakyat atas tanah dan pemberdayaannya. Program ini harus sinergi dengan melibatkan semua instansi yang terkait. Tujuannya agar tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan cara memberdayakan petani melalui penguatan hak atas tanah. Langkah yang ditempuh adalah pertama, meredistribusi tanah dengan pemberian hak milik atas tanah; kedua, melakukan konsolidasi tanah; ketiga, kemitraan dengan pengusaha atau secara mandiri oleh petani.
Pemberdayaan meliputi pendampingan oleh pengusaha, pendanaan oleh lembaga keuangan, serta kelembagaan. Ini sebagai bentuk kemitraan. Program ini merupakan instrumen menyelesaikan konflik tanah perkebunan (HGU) yang telah digarap masyarakat dengan solusi yang adil.
Program tersebut diawali dengan redistribusi tanah sehingga memudahkan petani memperoleh akses terhadap tanah. Pola ini sekaligus sebagai upaya pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah dengan dilengkapi sertifikat.
Setelah itu, pendampingan terus berjalan demi mencegah aksi penjualan tanah oleh petani. Oleh karena itu diperlukan program pascarestribusi sebagai tindak lanjut yang memberi kesempatan kepada petani untuk memperoleh bantuan kredit.
Bantuan ini antara lain, kredit ketahanan pangan dan kredit usaha dengan syarat yang ringan, pemasaran, pelatihan, bibit, manajemen, teknologi, dan sebagainya. Termasuk menyangkut produksi dan distribusi.
Jadi, kegiatan redistribusi tanah negara tidak sebatas pembagian tanah kepada petani sesuai PP Nomor 224 Tahun 1961. Akan tetapi, kegiatan itu juga merupakan upaya penyelesaian konflik pertanahan.
Pelaksanaan landreform menuntut adanya institusi yang kuat pada tingkat lokal, didukung oleh data dan informasi yang lengkap serta akurat. Institusi ini diperlukan sebelum, selama, dan sesudah landreform.
Harus menjadi sasaran dari program penguatan hak rakyat atas tanah, antara lain, pertama, tanah yang telah dimiliki petani, tetapi belum memiliki sertifikat. Kedua, tanah yang telah digarap petani selama puluhan tahun berasal dari tanah negara, bekas HGU yang habis masa berlakunya, tetapi tak diperpanjang. Ketiga, tanah kebun yang berasal dari pengusaha kebun secara fisik melebihi luas lahan yang ditetapkan dalam HGU. Keempat, tanah kebun yang dijual oleh pengusaha kebun untuk dijadikan plasma, yang dibeli masyarakat dengan dana yang dikucurkan dari kredit koperasi primer pada anggota (KKPA). Kelima, tanah yang dimiliki rakyat setempat, tapi tak mempunyai dana untuk penerbitan sertifikat tanah. Bahkan, mereka tidak memiliki akses untuk memperoleh KKPA.
Untuk kasus tersebut masyarakat dapat bergabung dengan koperasi yang dapat mendanai terlebih dahulu biaya sertifikasi dan memperoleh tanah dengan luas yang disepakati dari tanah yang dimiliki rakyat setempat.
Harus diingat, sertifikat yang diterbitkan itu baru mencakup sebagian kecil dari total tanah di Indonesia yang seharusnya dilegalisasi. Penyebabnya antara lain, kinerja pelayanan aparat masih sangat rendah, pengelolaan data pertanahan masih manual, dan keterbatasan anggaran.
Akibatnya, pelayanan lambat, berbelit-belit, biaya mahal, dan timbul sertifikat ganda. Dampak susulannya adalah makin sulit ditetapkan harga tanah yang layak dan adil.
Tindakan konkrit bangsa ini untuk terus memperjuangkan reformasi agraria, yang pada akhirnya untuk membela para petani dari tangkupan rakus pemerintah dengan istilah mengambil alih atas nama rakyat.*






Tidak ada komentar:

Posting Komentar